Peristiwa Petrus hingga Tragedi 1998, Inilah 12 Kejadian yang Diakui Sebagai Pelanggaran HAM Berat

Presiden Joko Widodo mengakui adanya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia, antara tahun 1965 sampai 2003. Hal itu berdasarkan laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia. “Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat,” ujarnya dalam keterangan pers, siang hari ini, Rabu (11/1/2023), di Istana Merdeka, Jakarta.

Presiden menyebut ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Berikut rinciannya. Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah kegagalan kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI) di Indonesia. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai.

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia pada masa Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980 an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).

Dikutip dari Wikipedia, Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI, Soehar­to meminta polisi dan ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas.

Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­opkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma­sing masing kota dan provinsi lainnya. Tragedi Talangsari 1989 atau Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).

Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.

Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. ABRI juga disebut membakar rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai "orang lokasi" sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.

Dikutip dari Kompas.com, tragedi Rumah Geudong adalah peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh (1989 1998). Tragedi Rumah Geudong terjadi di sebuah rumah tradisional di Aceh yang dijadikan sebagai markas TNI di Desa Bili, Kabupaten Pidie. Dalam Rumah Geudong, para TNI melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan memburu pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Saat sedang menjalankan operasinya, tidak sedikit anggota TNI yang melakukan berbagai tindak kekerasan terhadap para warga. Akhirnya, pada 20 Agustus 1998, massa membakar Rumah Geudong. Sebagai informasi, Rumah Geudong dibangun tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, Hulubalang atau pemimpin yang tinggal di Rumoh Raya.

Pada masa perang Belanda, Rumah Geudong kerap dijadikan sebagai pos pengatur strategi perang oleh Raja Lamkuta. Setelah Raja Lamkuta wafat, Rumah Geudong dipakai adiknya, Teuku Cut Ahmad, kemudian Teuku Keujren Rahmad, Teuku Keujren Husein, dan Teuku Keujren Gade. Lalu, ketika pemerintah Indonesia melakukan operasi militer di Aceh, pada April 1990, Rumah Geudong sementara ditempati oleh tentara tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Rumah Geudong dijadikan sebagai kamp konsentrasi militer sekaligus tempat untuk mengawasi masyarakat bagi pasukan Kopassus ketika Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989 1998. Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali.

Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul. Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta.

Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978 1998), Heri Hertanto (1977 1998), Hafidin Royan (1976 1998), dan Hendriawan Sie (1978 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Sementara tragedi Semanggi merujuk kepada 2 kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.

Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11 13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka luka. Pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam (santet atau tenung) yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur pada kurun waktu Februari hingga September 1998.

Namun hingga saat ini motif pasti dari peristiwa ini masih belum jelas. Kejadian Awal Pembunuhan pertama terjadi pada Februari 1998 dan memuncak hingga Agustus dan September 1998.

Pada kejadian pertama di bulan Februari tersebut, banyak yang menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, dalam artian kejadian tersebut tidak akan menimbulkan sebuah peristiwa yang merentet panjang. Pembunuh dalam peristiwa ini adalah warga warga sipil dan oknum asing yang disebut ninja. Dalam kejadian ini, setelah dilakukan pendataan korban. Ternyata banyak di antara para korban bukan merupakan dukun santet.

Di antara para korban terdapat guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW. Tragedi Simpang KKA, juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh, adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, tentara menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.

Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya. Hingga saat ini belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili atas peristiwa ini.

Dikutip dari Kontras.org, Peristiwa ini dipicu dari terbunuhnya 5 anggota Brimob dan 1 orang sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior pada 13 Juni 2001 silam dan kemudian sejumlah pasukan polisi diturunkan untuk mencari pelaku yang juga mengambil 6 pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Akibatnya, menurut Tim Ad Hoc Papua ada sebanyak 4 orang tewas, 39 orang mengalami penyiksaan, 1 orang diperkosa dan 5 diantaranya dihilangkan secara paksa. Peristiwa Wamena berawal ketika masyarakat sipil Papua, dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung dan desa.

Penyisiran dilakukan akibat dari sekelompok massa tak dikenal yang membobol gudang senjata Markas Kodim I 1702/Wamena dan menewaskan dua anggota Kodim. Hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa ini menyatakan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat yang mengakibatkan warga sipil menjadi korban, sedikitnya 4 (empat) orang tewas, 39 orang terluka akibat penyiksaan, sebanyak 5 (lima) orang menjadi korban penghilangan paksa dan satu orang menjadi korban kekerasan seksual. Tragedi Jambo Keupok adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Jambo Keupok, Aceh Selatan, tanggal 17 Mei 2003.

Dari tragedi Jambo Keupok, sebanyak 16 orang penduduk sipil mengalami penyiksaan, penembakan, pembunuhan, dan pembakaran. Selain itu, lima orang lainnya juga mengalami kekerasan oleh para anggota TNI, Para Komando (Parako), dan Satuan Gabungan Intelijen (SGI). Kronologi

Peristiwa Tragedi Jambo Keupok berawal dari informasi yang disampaikan seorang informan kepada anggota TNI bahwa Desa Jambo Keupok mejadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Isu tersebut tersebar sekitar tahun 2001 2002. Begitu mendengar kabar tersebut, aparat keamanan segera mengambil tindakan. Mereka melakukan razia dan menyisir kampung kampung yang ada di Kecamatan Bakongan.

Dalam proses operasi, para aparat keamanan kerap melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil, seperti penangkapan, penyiksaan, dan perampasan harta benda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *